Jumat, 25 Maret 2011

artikel pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didiksecara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Filosofi pendidikan

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.
Bagi sebagian orang pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program sarjanamagisterdoktor, dan spesialis yang diselenggarakan olehperguruan tinggi.









Guru, elemen yang terlupakan

Pendidikan Indonesia selalu gembar-gembor tentang kurikulum baru...yang katanya lebih oke lah, lebih tepat sasaran, lebih kebarat-baratan...atau apapun. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis dengan mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum.

Di balik perubahan kurikulum yang terus-menerus, yang kadang kita gak ngeh apa maksudnya, ada elemen yang benar-benar terlupakan...Yaitu guru! Ya, guru di Indonesia hanya 60% yang layak mengajar...sisanya, masih perlu pembenahan. Kenapa hal itu terjadi? Tak lain tak bukan karena kurang pelatihan skill, kurangnya pembinaan terhadap kurikulum baru, dan kurangnya gaji. Masih banyak guru honorer yang kembang kempis ngurusin asap dapur rumahnya agar terus menyala.

Guru, digugu dan ditiru....Masihkah? atau hanya slogan klise yang sudah kuno. Murid saja sedikit yang menghargai gurunya...sedemikian juga pemerintah. banyak yang memandang rendah terhadap guru, sehingga orang pun tidak termotivasi menjadi guru. Padahal, tanpa sosok Oemar Bakri ini, tak bakal ada yang namanya Habibi.

Gelar....Mabuknya Pendidikan

Sekali lagi, Indonesia dihadapkan pada kasus yang mencoreng nama pendidikan. Kasus jual beli gelar yang dipraktekkan oleh IMGI. Cara memperoleh gelar ini sangatlah mudah, Anda tinggal menyetor 10-25 juta, dan Anda dapat gelar yang Anda inginkan..Tinggal pilih...apakah S1, S2, atau S3....benar-benar edan! Sebagian orang mabuk kepayang akan nilai gelar yang memabukkan. Dan tidak tanggung-tanggung yang pernah membeli gelar dari IMGI ini...sekitar 5000 orang.

Ini adalah protet buram masyarakat Indonesia yang memuja gelar melampaui batas. Dengan titel, seakan-akan masa depan lebih mudah. Padahal, nasib ditentukan oleh kerja keras...dan sebagian masyarakat Indonesia mencari jalan pintas. Tak heran, jika kasus wakil rakyat yang melakukan jual beli gelar agar kelihatan mentereng menyeruak di mana-mana. Dan dengan kepala kosong, mereka mencoba mengkonsepsikan pemerintahan Indonesia. Apa yang terjadi? Undang-undang sekedar lobi-lobi politik dimana semuanya UUD (ujung-ujungnya duit).

Tidakkah kita semua miris lihat kenyataan ini? Lalu apa gunanya gelar kalau ternyata dia hanya kedok belaka?

Hakikat Pendidikan

Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?

Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.

Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.

Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan katamencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.

(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.

(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.

(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.

inilah sekelumit tulisan yang saya jadikan pokok pemikiran buat apa itu hakikat pendidikan sebenarnya.

Sekolah Global di Desa Kecil Kalibening

FINA Af'idatussofa (14) bukan siswa sekolah internasional dan bukan anak orang berada. Ia lahir sebagai anak petani di Desa Kalibening, tiga kilometer perjalanan arah selatan dari kota Salatiga menuju Kedungombo, Jawa Tengah. Karena orangtuanya tidak mampu, ia terpaksa melanjutkan sekolah di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah di desanya. Namun, dalam soal kemampuan Fina boleh dipertandingkan dengan siswa sekolah-sekolah mahal yang kini menjamur di Jakarta.

MESKI bersekolah di desa dan menumpang di rumah kepala sekolahnya, bagi Fina internet bukan hal yang asing. Ia bisa mengakses internet kapan saja. Setiap pagi berlatih bahasa Inggris dalam English Morning. Ia pernah menjuarai penulisan artikel on line di kotanya. Ia juga berbakat dalam olah vokal meski ia mengatakan tidak ingin menjadi seorang penyanyi.

"Kalau menjadi penyanyi, pekerjaanku hanya menyanyi. Padahal, cita-citaku banyak. Aku ingin jadi presenter, aku ingin jadi penulis, pengarang lagu, ilmuwan, dan banyak lagi? Aku juga ingin berkeliling dunia," kata Fina.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah resmi terdaftar sebagai SMP Terbuka, sekolah yang sering diasosiasikan sebagai sekolah untuk menampung orang-orang miskin agar bisa mengikuti program wajib belajar sembilan tahun. Namun, siswa SMP Alternatif Qaryah Thayyibah sangat mencintai dan bangga dengan sekolahnya.

Pukul 06.00 sekolah sudah mulai dan baru berakhir pada pukul 13.30. Akan tetapi, jam sekolah itu terasa sangat pendek bagi murid-murid sekolah tersebut sehingga setelah makan siang mereka biasanya kembali lagi ke sekolah. Mereka belajar sambil bermain di sekolahnya sampai malam, bahkan tak jarang mereka menginap di sekolah.

Murid-murid SMP Qaryah Thayyibah memang sangat menikmati sekolahnya. Bersekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Guru bukanlah penguasa otoriter di kelas, tetapi teman belajar. Mereka bebas berbicara dengan gurunya dalam bahasa Jawa ngoko, strata bahasa yang hanya pantas untuk berbicara informal dengan kawan akrab.

Di kelas mereka juga sangat bebas. Mereka bisa asyik mengerjakan soal-soal matematika dengan bersenda gurau, ada yang mengerjakan soal sambil bersenandung, yang lain bermain monopoli. Suasana bermain itu bahkan di taman kanak-kanak pun kini makin langka karena mereka dipaksa oleh gurunya untuk membaca dan menulis.

SMP Qaryah Thayyibah lahir dari keprihatinan Bahruddin melihat pendidikan di Tanah Air yang makin bobrok dan semakin mahal. Pada pertengahan tahun 2003 anak pertamanya, Hilmy, akan masuk SMP. Hilmy telah mendapatkan tempat di salah satu SMP favorit di Salatiga. Namun, Bahruddin terusik dengan anak-anak petani lainnya yang tidak mampu membayar uang masuk SMP negeri yang saat itu telah mencapai Rp 750.000, uang sekolah rata-rata Rp 35.000 per bulan, belum lagi uang seragam dan uang buku yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah.

"Saya mungkin mampu, tetapi bagaimana dengan orang-orang lain?" tuturnya. Bahruddin yang menjadi ketua rukun wilayah di kampungnya kemudian berinisiatif mengumpulkan warganya menawarkan gagasan, bagaimana jika mereka membuat sekolah sendiri dengan mendirikan SMP alternatif. Dari 30 tetangga yang dikumpulkan, 12 orang berani memasukkan anaknya ke sekolah coba-coba itu. Untuk menunjukkan keseriusannya, Bahruddin juga memasukkan Hilmy ke sekolah yang diangan-angankannya.

"Saya ingin membuat sekolah yang murah, tetapi berkualitas. Saya tidak berpikir saya akan bisa melahirkan anak yang hebat-hebat. Yang penting mereka bisa bersekolah," kata Bahruddin.

Bahruddin mengadopsi kurikulum SMP reguler di sekolahnya. Ia menyatakan tidak sanggup menyusun kurikulum sendiri. Lagi pula sekolah akan diakui sebagai sekolah berkualitas jika bisa memperoleh nilai yang baik dan mendapatkan ijazah yang diakui pemerintah. Karena itulah ia memilih format SMP Terbuka. Akan tetapi, ia mengubah kecenderungan SMP Terbuka sekadar sebagai lembaga untuk membagi-bagi ijazah dengan mengelola pendidikannya secara serius.

Sekolah itu menempati dua ruangan di rumah Bahruddin, yang sebelumnya digunakan untuk Sekretariat Organisasi Tani Qaryah Thayyibah. Jumlah guru yang mengajar sembilan orang, semuanya lulusan institut agama Islam negeri dan sebagian besar di antaranya para aktivis petani.

Guru pelajaran Matematika-nya seorang lulusan SMA yang kini mondok di pesantren. Akses internet gratis 24 jam diperoleh dari seorang pengusaha internet di Salatiga yang tertarik dengan gagasan Bahruddin. Dengan modal seadanya sekolah itu berjalan.

Ternyata pengakuan terhadap keberadaan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah tidak perlu waktu lama. Nilai rata- rata ulangan murid SMP Qaryah Thayyibah jauh lebih baik daripada nilai rata-rata sekolah induknya, terutama untuk mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris.

Sekolah itu juga tampil meyakinkan, mengimbangi sekolah-sekolah negeri dalam lomba cerdas cermat penguasaan materi pelajaran di Salatiga. Sekolah itu juga mewakili Salatiga dalam lomba motivasi belajar mandiri di tingkat provinsi, dikirim mewakili Salatiga untuk hadir dalam Konvensi Lingkungan Hidup Pemuda Asia Pasifik di Surabaya. Pada tes kenaikan kelas satu, nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Inggris siswa Qaryah Thayyibah mencapai 8,86.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah juga maju dalam berkesenian. Di bawah bimbingan guru musik, Soedjono, anak-anak sekolah bergabung dalam grup musik Suara Lintang. Kebolehan anak-anak itu dalam menyanyikan lagu mars dan himne sekolah dalam versi bahasa Inggris dan Indonesia bisa didengarkan ketika membuka alamat situs sekolah www.pendidikansalatiga.net/qaryah. Grup musik anak-anak desa kecil itu telah mendokumentasikan lagu tradisional anak dalam kaset, MP3, maupun video CD album Tembang Dolanan Tempo Doeloe yang diproduksi sekaligus untuk pencarian dana. Seluruh siswa bisa bermain gitar, yang menjadi keterampilan wajib di sekolah itu.

Sulit dibayangkan anak- anak petani sederhana itu masing-masing memiliki sebuah komputer, gitar, sepasang kamus bahasa Inggris-Indonesia dan Indonesia-Inggris, satu paket pelajaran Bahasa Inggris BBC di rumahnya. Semua itu tidak digratiskan. Anak-anak memiliki semua itu dengan mengelola uang saku bersama-sama sebesar Rp 3.000 yang diterima anak dari orangtuanya setiap hari. Uang sebesar Rp 1.000 dipergunakan untuk mengangsur pembelian komputer. Untuk sarapan pagi, minum susu, madu, dan makanan kecil tiap hari Rp 1.000, sedangkan Rp 1.000 lainnya untuk ditabung di sekolah. Tabungan sekolah itu dikembalikan untuk keperluan murid dalam bentuk gitar, kamus, dan lain-lainnya.

Tidak mengherankan jika anak-anak dan orangtua mereka bangga dengan sekolah itu. Betapa tidak, di sekolah yang berdekatan dengan rumah di sebuah desa kecil mereka mendapatkan banyak hal yang tidak diperoleh di sekolah-sekolah yang dikelola dengan logika dagang.

Ismanto (43) menceritakan, anaknya sempat down saat mendaftar SLTP di Salatiga dua tahun lalu. Uang masuknya Rp 200.000, belum termasuk buku dan seragam. Tidak ada seorang murid pun ke sekolah dengan berjalan kaki selain anaknya, Emi Zubaiti (13). Kini Emi menjadi seorang anak yang pandai dalam berbagai mata pelajaran, pintar bernyanyi, dan percaya diri. Ia tidak pernah membayangkan bisa menyekolahkan Emi, anak pasangan tukang reparasi sofa dan bakul jamu gendong, mendapat sekolah yang baik.

Bahkan Ismanto ikut menikmati komputer yang dikredit dari uang saku anaknya. Dibimbing anaknya, sekarang Ismanto mulai belajar komputer. "Tidak pernah terpikir, saya bisa membelikan komputer. Kini saya malah bisa ikut menikmati," kata Ismanto.

Catatan pribadi :
---------------------
Nah, kita liat sample aja yah. Bukan berarti pendidikan harus mahal kan? Bisa murah tapi berkualitas. Pendidikan murah berkualitas bukanlah sesuatu yang utopis, tapi bisa dicapai dengan tekad. Siapa bilang sekolah harus mahal?

MONDAY, APRIL 18, 2005

Diskriminasi Pendidikan

Diambil dari pendidikanmurah
---------------------------------------------------------------

Rasa-rasanya rasa muakku sudah sampai pada puncaknya.

Setelah membaca rubrik Humaniora di harianKompas edisi hari ini, aku menjadi semakin jengkelsaja dengan kebijakan sistem pendidikan di Indonesia yang kian lama kian wagu saja. Akhir-akhir ini rubrik Humaniora Kompas memang banyak menyoroti tentang kondisi pendidikan di Indonesia. Diawali dengan pemberitaan mengenai ide cemerlang dari salah seorang ketua RW di salah satu desa di Sala Tiga yang dengan kreatifnya menggagas sebuah sekolah alternatif untuk siswa SLTP dengan konsep sekolah terbukanya sampai pada kegilaan mungkin lebih tepat jika disebut kebodohan dari pemerintah mengenai rancangan sistem jalur pendidikan yang baru.

Dalam sistem pendidikan yang baru ini pemerintah akan membagi jalur pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu.

Dengan kata lain jalur formal mandiri adalah jalur bagi siswa kaya sedangkan jalur formal standar adalah jalur bagi siswa miskin. Konyol memang. Aku sampai tidak habis pikir bisa-bisanya pendidikan dikotak-kotakkan berdasarkan tingkat fianansial dari peserta didik. Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu miskin agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah Berapa banyak sich beasiswa yang disediakan?.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal mandiri. Menurut ku ini juga merupakan salah satu bentuk kebodohan yang lain. Coba saja kita bayangkan seandainya ada seorang siswa miskin yang memperoleh beasiswa untuk bersekolah di jalur formal mandiri yang nota bene tempat sekolahnya siswa kaya. Bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi minder dan rendah diri. Ketika teman-temannya selalu mengenakan seragam yang bersih dan tersetrika dengan rapi dengan menggunakan pelembut dan pewangi pakaian sedangakan siswa miskin ini hanya mampu mengenakan seragam bekas alias hibahan dari tetangganya, bukankah kondisi seperti ini malah menjadikan siswa miskin ini menjadi objek tontonan bagi siswa-siswa kaya?

Apakah pembagian jalur pendidikan ini merupakan salah satu misi pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa?

Menurutku, pendidikan adalah satu-satunya jalan bagi bangsa kita dalam mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain. Aku cukup salut dengan pemerintah Kamboja dan Thailand yang mulai berbenah diri dengan berfokus pada pendidikan warga negaranya. Kedua negara ini mulai merintis pendidikan gratis bagi warga nya. Pemerintah Kamboja sendiri mulai mengalihkan sembilan belas persen dari total anggarannya yang biasanya digunakan sebagai angaran militer untuk mendukung pengembangan pendidikan.

Lantas bagai mana dengan visi dan misi pendidikan di Indonesia? Mau dibawa ke mana pendidikan di Negara kita? Apakah pendidikan sudah menjadi barang dagangan yang nantinya menghasilkan outputan berupa selembar sertifikat dan ijazah bukannya keahlian dan daya analitis? Dan apakah pendidikan hanya menjadi milik dan hak orang kaya saja?

Apakah memang orang miskin dilarang sekolah?

WEDNESDAY, DECEMBER 29, 2004

Kapitalisme Pendidikan

Sudah rahasia umum jika pendidikan sekarang sangat mahal. Yah seperti kata buku, orang miskin dilarang sekolah! Memprihatinkan, tapi itulah kenyataannya. Masuk TK saja bisa mencapai ratusan ribu maupun jutaan rupiah, belum lagi kalo masuk SD-SMP-SMA-Universitas yang favorit. Kalau dihitung, seseorang yang masuk TK sampai dengan universitas yang favorit akan menghabiskan 100 juta lebih. Wow!
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, dari orang awam dan bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. benarkah demikian??? Itu adalah omongan sesat, mereka yang bicara ngelantur begitu sudah pasti tidak pernah lihat kondisi luar. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diaksese oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya.
Pendidikan yang kapitalistik sekarang ini, yang bertujuan bisnislah yang membuat biaya-biaya membengkak. Pendidikan diserahkan sebagian kontolnya kepada swasta karena pemerintah yang kurang becus. Ada baiknya swasta ikut mengatur pendidikan sehingga masyarakat pun bisa berperan dalam lembaga pendidikan, tapi walau bagaimanapun ini bukan berarti bahwa pemerintah lepas tangan begitu saja. Ya, kan??? Pendidikan instan ala swasta yang mementingkan bisnis kjadi masalah besar buat dunia pendidikan. kadang terbaca di iklan-iklan, lembaga pendidikan yang menawarkan lulus cepat+absen tidak dihitung+dapat ijazah+dll. Sepertinya, yang penting bagi pendidikan hanyalah dapat ijazah buat kerja saja. Padahal pendidikan ditujukan untuk membangun moral individu dan tingkat pengetahuannya.
Lalu bagaimana caranya agar pendidikan bisa murah?? Wah, ini bukan persoalan gampang,dan jelas butuh pemikiran mendalam. Biar dipikir dan merenung dahulu. Tidak dituliskan disini, karena bakal sangat panjang juga. 
Pendidikan dalam bahasa Yunani berasal dari kata padegogik yaitu ilmu menuntun anak. Orang Romawi melihat pendidikan sebagai educare, yaitu mengeluarkan dan menuntun, tindakan merealisasikan potensi anak yang dibawa waktu dilahirkan di dunia. Bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung yang setara denganeducare, yakni : membangkitkan kekuatan terpendam atau mengaktifkan kekuatan atau potensi anak. Dalam bahasa Jawa, pendidikan berarti pengolahan, mengolah, mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan dan watak, mengubah kepribadian sang anak.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Dari pengertian-pengertian dan analisis yang ada maka bisa disimpulkan bahwapendidikan adalah upaya menuntun anak  sejak lahir untuk mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi alam beserta lingkungannya.
Dalam pendidikan terdapat dua hal penting yaitu aspek kognitif (berpikir) dan aspek afektif (merasa). Sebagai ilustrasi, saat kita mempelajari sesuatu maka di dalamnya tidak saja proses berpikir yang ambil bagian tapi juga ada unsur-unsur yang berkaitan dengan perasaan seperti semangat, suka dan lain-lain. Substansi pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah membebaskan manusia dan menurut Drikarya adalah memanusiakan manusia. Ini menunjukan bahwa para pakar pun menilai bahwa pendidikan tidak hanya sekedar memperhatikan aspek kognitif saja tapi cakupannya harus lebih luas.


















Pendidikan Inklusi Anak Special Needs di Indonesia


Terlepas dari masih banyaknya kekurangan, harus jujur diapresiasi bahwa pemerintah pada masa kepemimpinan SBY-JK cukup berfikiran terbuka dan mau membuat perubahan. Salah satu yang patut dihargai adalah dicanangkannya Program Pendidikan Inklusi. Sebuah model pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah umum bersama anak-anak lain sebayanya, tidak harus di SLB.
Namun demikian, masih banyak masalah ataupun kendala yang ditemui di lapangan. Beberapa diantaranya; (1) belum bakunya sistem assessment anak berkebutuhan khusus, (2) belum terumuskannya kurikulum inklusi, sebuah kurikulum yang peka dan mau menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus anak, serta mampu memfasilitasi pengembangan potensi dan kecerdasan setiap anak termasuk anak berkebutuhan khsusu (perlu diingat bahwa setiap anak adalah cerdas di potensinya masing-masing). (3) belum tersedianya cukup sumber daya pendidik, secara kualitas maupun kuantitas, untuk melakukan pengajaran pada anak-anak berkebutuhan khusus tersebut, (4) masih terbatasnya dukungan dana dari pemerintah untuk pengembangan pendidikan inklusi.


Menyangkut persoalan pertama, berbagai usaha telah dilakukan termasuk diantaranya didirikannya Asessment Center Nasional yang ditempatkan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Begitu pula menyangkut persoalan ketiga, mata kuliah pendidikan anak berkebutuhan khusus sudah dimasukkan dalam semua jurusan pendidikan dan keguruan. Proses pelatihan maupun usaha sertifikasi telah dilakukan bagi guru-guru yang menerima anak berkebutuhan khusus. Perekrutan Guru Pendamping Khusus (GPK) juga sudah dilakukan meski jumlah masih jauh dari memadai. 
Persoalan dana juga dapat diusahakan melalui kreativitas sekolah untuk menggali dana dan membangun kemitraan (base on community) guna mencukupi kebutuhannya akan sarana pengembangan kreativitas anak berkebutuhan khusus tanpa harus membebankannya pada orang tua. Pengajaran musik dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan orang tua atau masyarakat di sekitar sekolah yang memiliki ketrampilan memainkan alat musik atau bahkan memiliki alat musik sendiri. Tak terkecuali dengan pengajaran ketrampilan, olahraga, otomotif dan sebagainya. Tidak harus segalanya dibeli dan dimiliki. Namun demikian, pemerintah juga harus meningkatkan dukungannya sekalipun ada sekolah telah menjalin kemitraan.
Persoalan tersisa adalah menyangkut kurikulum. Kurikulum yang ada hanya tunggal yaitu menyamaratakan potensi anak dan menuntut anak mencapai standar kurikulum tersebut. Sebuah kurikulum yang menghendaki siswanyalah yang mengalah dan menyesuaikan diri, bukan kurikulum yang menyesuaikan diri dengan potensi siswa. Kurikulum seperti ini sebenarnya juga berat dan kurang sesuai bagi anak-anak “normal”, terlebih lagi bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui kurikulum semacam ini, anak berkebutuhan khusus yang masuk sekolah inklusi bukannya mendapat pendidikan layak melainkan akan memperburuk kondisi anak karena kebutuhannya tidak terpenuhi. 
Ambil contoh seorang anak retardasi mental ataupun ber-IQ borderline (dibawah 80). 
Ketika masuk sekolah inklusi, anak seperti itu dipaksa oleh kurikulum dengan keharusan harus menguasai pelajaran. Padahal, anak-anak yang ber-IQ diatasnya saja belum tentu bisa. Menghadapi kendala ini, jika sekolah tidak menyerah dan menyerahkan kembali anak ke orang tuanya, biasanya sekolah akan melakukan berbagai rekayasa dan sangat mungkin kecurangan untuk membantu kelulusan anak.

Sering alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan adanya angka yang dapat dijadikan tolak ukur. Alasan tersebut sepertinya lebih terlihat karena keengganan untuk repot. Padahal  alasan sesungguhya hanya masalah teknis. Jika menghendaki angka, bisa saja proses dikuantifikasi dalam bentuk angka. Banyak negara telah berhasil pula menerapkannya. Misalnya, dengan kurikulum pendidikan yang menghargai dan berusaha mengembangkan potensi siswa yang beragam. Ada yang di bidang sains, humaniora, olahraga, seni, atau jurnalis dan banyak lagi. Pendidikan yang mencetak anak-anak yang percaya diri dengan potensinya masing-masing. Pendidikan yang menghargai jerih payah dan kreatifitas.
Dibutuhkan sebuah kurikulum yang bukan sekadar bagaimana mengatasi keterbatasan siswa dan mengejar standar kurikulum semata melainkan berangkat dari penghargaan, optimisme, dan potensi positif yang dimiliki anak berkebutuhan khusus. Merujuk hal ini pula, penilaian prestasi siswa terutama anak berkebutuhan khusus juga harus mengukur capaian perkembangan potensi siswa, yakni merujuk pada proses, dan bukan pada bagaimana hasil.    

“Presiden Baru”
      
Bagaimana mengatasi persoalan-persoalan diatas? Tanggung jawab juga ada pada  pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintahlah yang mengemban amanat untuk memanfaatkan kekayaan negara guna kesejahteraan rakyat termasuk dalam hal pendidikan. Seiring dengan usainya pesta Pemilu, presiden baru akan terpilih. Namun demikian, siapapun presiden yang terpilih nantinya, perannya sebagai pimpinan pemerintahan yang harus mensejahterakan rakyat tidak kemudian berubah. 

Olah karena itu, sangat diharapkan presiden yang baru kelak dapat mencermati persoalan yang ada menyangkut pendidikan anak berkebutuhan khusus ini dengan cermat dan lebih mampu memberikan perhatiannya. Salah satunya adalah kesediaan untuk menengok kembali garis kebijakan pendidikan menyangkut kurikulum bagi anak berkebutuhan khusus yang duduk di bangku sekolah inklusi. Keterbukaan diri untuk melibatkan seluruh pihak yang memiliki pengetahuan dan kompetensi di bidang pendidikan anak 
berkebutuhan khusus sangat diperlukan. Yang terpenting kemudian adalah keberanian mengambil keputusan yang merombak kurikulum lama yang kaku dan menggantinya dengan kurikulum yang lebih menghargai potensi unik setiap anak berkebutuhan khusus, selain dukungan dana ketimbang dihabiskan untuk rekreasi ataupun belanja keperluan pejabat yang sering tidak masuk akal. Diharapkan presiden yang baru nantinya bukan hanya bisa jadi presiden bagi partainya, melainkan bagi seluruh rakyat, termasuk menjadi Presiden Anak Berkebutuhan Khusus.









EDUCATION FOR ALL ” Kapan Pendidikan Gratis”

Jika tahun anggaran 2007 hingga APBN-Perubahan Pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 11,8 persen dari total APBN-P Rp. 752,3 triliun itu—tahun 2008 anggaran pendidikan tidak jauh berbeda hanya berkisar 12 persen saja.
Padahal APBN 2008 naik menjadi Rp. 781,4 triliun. Hal ini tidak sesuai dengan komitmen pemerintah yang telah menuangkan dalam pasal 49 ayat (1) Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Komitmen ini sekaligus mematahkan program pemerintah untuk menggratiskan biaya pendidikan minimal pada wajib belajar sembilan tahun (Wajardikdas) dari SD hingga SMP.
Adalah Fathul Hadi Usman dan warga Kabupaten Banyuwangi serta warga Kabupaten Jember mengajukan judicial review terhadap Penjelasan Undang-undang Sisdiknas tersebut. Dalam penjelasan ada hal yang sangat janggal. Dimana pemerintah membuat bunyi penjelasan yang sangat aneh, sehingga mengaburkan kewajibannya untuk menganggarkan alokasi pendidikan sebesar 20 persen.
Bunyi penjelasan pasal itu adalah ‘anggaran pendidikan dinaikkan secara bertahap’. Namun, berkat bantuan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan dan mengabulkan permohonan Fathul dan warga—Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-III/2005, bahwa penjelasan UU 20/2003 pasal 49 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 
Dengan demikian, seharusnya pemerintah pusat dan daerah harus konsisten melaksanakan keputusan yang menjadi konstitusi tersebut.


Dengan alasan kemampuan pemerintah saat ini untuk memenuhi amanat UU masih berat—akhirnya APBN 2008 diputuskan alokasi anggaran pendidikan hanya sebesar Rp. 48,3 triliun. Dari ekspose pemerintah (Depkeu,red), anggaran pendidikan dianggap naik dari realisasi anggaran APBN-P 2007 yang hanya berjumlah Rp. 39,4 triliun. Namun dengan dalih lain, sumber anggaran dari rupiah murni diperkirakan Rp. 43.363,7 miliar, PHLN Rp. 1.310,3 miliar, dan PNBP Rp. 3.600 milir.
Dalih selanjutnya bahwa rujukan RPJM 2004-2009, konvensi internasional mengenai pendidikan yang berkaitan dengan pembangunan pendidikan, baik istilah ‘pendidikan untuk semua’ (education for all), Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of Child), Millenium Development Goals (MDGs) serta Word Summit on Sustainable Development yang akan diaktualisasikan dengan pemerataan dan perluasan akses pendidikan.
Kenyataan dilapangan alokasi pendidikan dengan pencanangan untuk pelaksanaan 14 program kerja Depdiknas akhirnya kurang mencapai sasaran. Program wajib belajar 9 tahun (Wajar Dikdas) misalnya yang harus selesai hingga 2009—tahun anggaran 2008 alokasi dananya hanya berkisar sebesar Rp. 23.8 triliun. Pendidikan menengah (Dikmen) Rp. 4.076,3 miliar, pendidikan tinggi (Dikti) Rp. 12.636,3 miliar, peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan (PMPTK) Rp. 2.965,0 miliar dan untuk alokasi program pendidikan non formal (PNF) sebesar Rp. 1.212,3 miliar.
7 Program Wajar Dikdas, BOS & BOS Buku Rp. 10,9 Triliun
Dengan dana Rp 23,7 triliun, pemerintah menargetkan perluasan pelayanan pendidikan dasar hingga seluruh anak usia 7-15 tahun dapat memperoleh pendidikan. Setidak-tidaknya hingga jenjang sekolah menengah pertama (SMP) atau yang setara dengan itu.
Dengan anggaran sebesar itu, 7 program wajar dikdas bisa tertangani, diantaranya;pertama, penyediaan BOS untuk jenjang dasar baik formal maupun non formal termasuk didalamnya BOS Buku untuk siswa SD/MI dan SMP/MTs atau yang setara sebesar Rp. 10.827,6 miliar.
Kedua, penyediaan beasiswa untuk siswa miskin SD dan SMP Rp. 837,3 miliar;ketiga, penyelenggaraan pendidikan paket A setara SD dan paket B setara SMP sebesar Rp. 680,3 miliar. Keempat, rehabilitasi sarana dan prasarana SMP Rp. 550,
miliar; kelima, pembangunan SD-SMP satu atap, unit sekolah baru SMP, dan ruang kelas baru SMP sebesar Rp. 1.628,3 miliar; keenam, pembangunan prasarana pendukung berupa ruang perpustakaan dan pusat sumber belajar SD, dan laboratorium, termasuk peralatannya, dan perpustakaan SMP sebesar Rp. 2.114,5 miliar. Yang ketujuh, adalah pendidikan kesetaraan (Paket C), penyelenggaraan kursus dan magang dan pendidikan keaksaraan fungsional sebesar Rp. 651,5 miliar.


Dari berbagai kegiatan itu, pemerintah seterusnya mencanangkan program itu menjadi tepat sasaran. Dengan demikian semua program akan menghasilkan kegiatan yang mencakup didalamnya antara lain; ketersediaan BOS dan BOS Buku untuk 35,8 juta siswa SD dan SMP, beasiswa untuk 1,8 juta siswa miskin SD/SMP, terselenggaranya pendidikan alternatif bagi anak-anak yang tidak dapat mengikuti pendidikan reguler melalui pendidikan paket A dan B untuk 656.503 anak.
Termasuk penyelesaian rehabilitasi ruang sekolah sebanyak 13.978 ruang kelas, terbangunnya 1.000 SD-SMP satu atap, 500 unit sekolah SMP baru, 10.000 ruang kelas baru untuk SMP, membangun prasarana pendukung berupa 10.100 ruang perpustakaan dan pusat sumber belajar SD, 10.878 ruang laboratorium dan perpustakaan SMP, termasuk 5.378 paket peralatan laboratorium.
Dampak Peningkatan APK/APM SD-SMP
Program wajar dikdas 9 tahun untuk tahun anggaran 2008, pemerintah juga menargetkan peningkatan angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) khusus untuk jenjang SD dan sederajat menjadi 110,9 persen dan 94,8 persen.
Sedangkan pada jenjang SMP, APK-nya diharapkan oleh pemerintah meningkat menjadi 95,0 persen. Dengan demikian otomatis peningkatan angka partisipasi sekolah (APS) turut meningkat pada usia 7-12 tahun sebesar 99,5 persen dan 13-15 tahun menjadi 94,3 persen.
Jika dilihat dari program pemerintah tersebut, memang besar harapan pencapaian program wajib belajar 9 tahun untuk usia 7-15 tahun bisa tercapai. Bahkan slogan pendidikan gratis untuk wajar dikdas tersebut kemungkinan bisa terwujud setelah 2009 mendatang. Sayang pada prakteknya di lapangan, program demi program yang dicanangkan belum juga terwujud. Masyarakat bahkan tidak percaya dengan program tersebut.
Sebab kenyataannya baik siswa miskin maupun yang mampu tidak merasakan sepenuhnya dampak dari alokasi BOS dan BOS Buku. Hanya bisa dirasakan oleh pengelola sekolah serta beberapa elemen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan BOS tersebut. Sejumlah siswa miskin di beberapa daerah masih meringis—karena masih ada pungutan di sana-sini yang mengatasnamakan kepentingan proses belajar-mengajar.
Akhirnya istilah ‘gratis’ atau ‘education for all’ (pendidikan untuk semua) dengan program wajar dikdas 9 tahun hanya menjadi teori pemerintah dan angan-angan bagi masyarakat miskin. Bahkan mereka percaya program ini hanya kata Koran semata.(tengku imam)
Rp. 157,9 miliar Anggaran Pendidikan Kota Bekasi


Kota Bekasi – Merealisasikan alokasi anggaran pendidikan memang sungguh penting. Sebab, fenomena anggaran pendidikan merupakan hal yang sangat istimewa di bandingkan dengan alokasi anggaran untuk program lainnya. Karena hanya anggaran pendidikan yang ditekankan oleh Undang-undang sebagai dasar pijakan terhadap kemajuan pembangunan SDM.
Tidak ada program lainnya seperti infrastruktur, keamanan, keuangan dan kesehatan sekalipun yang dipatok UU hingga persentase yang signifikan. Pentingnya pendidikan menjadikan semua elemen setuju dengan anggaran pendidikan harus dialokasikan minimal 20 persen baik dalam APBN maupun APBD.
Di Kota Bekasi, seperti yang dituturkan oleh Drs. Heri Koswara, MA anggota Komisi D DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKS, mengatakan untuk APBD 2008, dewan telah menyetujui anggaran pendidikan sebesar Rp. 157,9 miliar atau 13,5 persen. Lucunya, eksekutif hanya mengajukan anggaran sebesar 10,48 persen.
Dari 157,9 m tersebut, alokasi anggaran difokuskan pada kategori penting (committed budget) dan 2 diantara kegiatan tersebut merupakan kategori genting fixed cost).
Anggaran pendidikan itu terbagi kepada pembiayaan program, diantaranya; program pendidikan anak usia dini (PAUD) Rp. 1,1 miliar, wajib belajar 9 tahun (Wajar Dikdas) Rp. 52,9 miliar, pendidikan menengah (Dikmen) Rp. 10,3 miliar, pendidikan non formal (PNF) Rp. 1,5 miliar, SDM Rp. 23,3 miliar, manajemen pendidikan Rp. 3,8 miliar dan pembangunan fisik Rp. 64,7 miliar.
Sebagai penekanan terhadap wajar dikdas, dan untuk merealisasikan pembangunan dan rehabilitasi gedung SD baik yang rusak berat, ringan dan sedang yang saat ini masih berjumlah sekitar 64 SD—program wajar dikdas dan fisik merupakan kegiatan dikategorikan fixed cost.
“Kita memang menargetkan hingga 2008 ini, semua sekolah SD harus sudah direhab dan diperbaiki. Sementara untuk menggratiskan peserta didik dan penuntasan wajar dikdas ini kita baru siap dengan 77.500 siswa. Ada kenaikan dari tahun lalu (50.000 siswa,red). Tapi saat ini subsidi hanya baru sebagian kegiatan. Mudah-mudahan setelah program fisik selesai—anggaran dapat dimanfaatkan untuk program belajar-mengajar,” ungkap Heri.
Ia juga berpendapat sesuai dengan amanah Perda Pendidikan Kota Bekasi, anggaran pendidikan agar bisa mencapai 20 persen baru terealisasi pada tahun 2012 mendatang. Sebab amanah perda itu, hanya mewajibkan pemerintah untuk menaikkan anggaran pendidikan sebesar 1 persen setiap tahunnya. (imam)
732.011 Siswa Miskin Dapat Beasiswa Tahun 2008


Untuk menunjang program wajardikdas 9 tahun, pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran pendidikan menengah (SMA/sederajat) termasuk beasiswa untuk siswa miskin sebesar Rp. 571 miliar. Dengan biaya sebesar itu, sebanyak 732.011 siswa miskin dapat melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang SMA dengan gratis alias mendapatkan beasiswa.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan dana sebesar Rp. 113,1 miliar untuk rehabilitasi ruang kelas jenjang pendidikan menengah. Pembangunan unit sekolah baru setingkat SMA dan SMK, ruang kelas baru, perpustakaan, laboratorium dan workshop hingga Rp. 936,8 miliar.
Sedangkan kegiatan menengah lainnya adalah penyelenggaraan pendidikan Paket C setara SMA Rp. 80,9 miliar. Program ini kan memutus rantai kelulusan Paket C sebanyak 35.000 siswa. Termasuk rehabilitasi 1.740 ruang kelas, pembangunan 325 unit sekolah baru SMA dan SMK, 3.949 ruang kelas baru serta 1.966 ruang perpustakaan, laboratorium dan workshop untuk SMA dan SMK.
Program ini sekaligus akan meningkatkan APK dan APS SMA untuk usia 16-18 tahun sebesar 64,2 persen dan 65,8 persen.
Beasiswa 161.753 Mahasiswa Miskin
Pendidikan Tinggi juga ternyata menjadi prioritas pemerintah pusat pada tahun 2008. tidak kurang dari 485,3 miliar sudah dialokasikan untuk 161.753 mahasiswa miskin mendapatkan beasiswa. Sementara pembangunan gedung dan laboratorium baru dan pengadaan peralatan lab di PT dialokasikan dana sebesar Rp. 1.277 miliar untuk 262,5 ribu meter persegi gedung lab.
Disamping itu juga pemerintah akan membangun 54 kampus politeknik yang memakan biaya hingga mencapai Rp. 540 miliar.
Dengan pembangunan dan bantuan sarana tersebut, pemerintah menargetkan APK PT hingga 17,2 persen pada tahun 2008. (A1)
Alokasi Program PMPTK Tahun 2008
  1. Percepatan peningkatan kualifikasi dan kompetensi bagi pendidik Rp. 940 miliar untuk 320.000 orang pendidik dan tenaga kependidikan.
  2. Sertifikasi akademik bagi pendidik Rp. 500 miliar untuk 200.000 pendidik sertifikasi akademik.
  3. Peningkatan kualifikasi akademik bagi dosen PT Rp. 423 miliar untuk kualifikasi akademik terhadap 28.200 dosen.
    1. Program di Departemen Agama Untuk Pendidikan
    1. Program Wajar Dikdas 9 Tahun (Dikdas) Rp. 3.583,1 miliar dialokasikan untuk;
    a. BOS dan BOS Buku Pendidikan Dasar Rp. 1.855,8 miliar, untuk 6,1 juta siswa MI-MTs
    b. Beasiswa siswa miskin MI-MTs Rp. 331,2 miliar untuk beasiswa 360 ribu MI dan 280 ribu siswa MTs
    c. Pembangunan unit sekolah baru & pendukung Rp. 371,1 miliar untuk 275 unit sekolah baru, 845 ruang pendukung untuk MI-MTs.
    d. Rehabilitasi MTs Rp. 119,7 miliar untuk rehabilitasi 910 ruang MTs.
    1. Program Pendidikan Menengah (Dikmen) Rp. 700,9 miliar dialokasikan untuk;
    a. Beasiswa untuk siswa miskin MA Rp. 159,7 miliar (210.188 beasiswa)
    b. Rehabilitasi ruang kelas Rp. 87,5 miliar (2.500 ruang kelas)
    c. Pembangunan unit sekolah baru Rp. 243,7 miliar (termasuk sarana dan prasarana untuk MEDP Rp. 7,8 miliar) untuk 1.058 paket sarana pendukung.
    1. Program Pendidikan Tinggi (PTA) Rp. 972 miliar untuk alokasi;
    a. Beasiswa mahasiswa miskin dan berprestasi Rp. 180,8 miliar termasuk santri berprestasi Rp. 34,1 miliar untuk 48.900 beasiswa bagi mahasiswa miskin dan berprestasi
    b. Penyediaan sarana Rp. 573,2 miliar untuk 119 PTA.
    1. Program PMPTK Rp. 2.043,3 miliar
    a. percepatan peningkatan kualifikasi dan kompetensi pendidik Rp. 75 miliar untuk 37.500 orang pendidik dan tenaga kependidikan.
    b. percepatan sertifikasi guru sebesar Rp. 74,4 miliar untuk 37.184 orang pendidik dan tenaga kependidikan.
    c. bantuan beasiswa S2 Rp. 158,9 miliar untuk 5.125 orang pendidik dan tenaga kependidikan.



Roket Berhulu Ledak Karya Anak Bangsa, R-Han 122 z

Indonesia mulai memasuki era kemandirian industri pertahanan dalam negeri, khususnya dalam memproduksi roket berhulu ledak. Kementerian Pertahanan meluncurkan Roket Pertahanan (R-Han) 122 berhulu ledak karya anak bangsa pada November 2010.

Peluncuran yang dilakukan di Lapangan Dodik Latpur Rindam II/Sriwijaya Km 8 Baturaja, Sumatera Selatan, itu menandai dimulainya produksi minimal 500 roket itu hingga tahun 2014.
”Peluncuran ini adalah akhir dari tahap uji coba. Selanjutnya, kita akan memproduksi minimal 500 roket pada 2014,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro saat meresmikan peluncuran roket itu.
”Ini menjadi titik awal kebangkitan dari usaha membangun kemandirian industri pertahanan dalam negeri,”lanjutnya.
R-Han 122 merupakan roket berkaliber 122 mm, hasil kolaborasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pertahanan, Kementerian Riset dan Teknologi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, PT Dirgantara Indonesia, serta PT Pindad.
Roket yang diluncurkan dari daratan itu memiliki jangkauan maksimal 14 kilometer, dengan kecepatan 1,8 mach. Namun, tidak dirinci daya ledak dari roket dengan dimensi panjang 1.762 mm dan panjang hulu ledak 475 mm itu.
Proses pembuatan R-Han 122 dirintis melalui riset yang dilakukan sejak enam tahun lalu. Dalam tiga tahun awal, riset pembuatan roket itu menelan dana Rp 5,25 miliar. Selanjutnya, riset yang dilakukan sejumlah lembaga itu dikolaborasikan dalam tiga tahun terakhir dan diujicobakan. Proses selama tiga tahun terakhir itu menelan dana Rp 2,7 miliar.
Menteri Riset dan Teknologi Suharna Surapranata yang hadir dalam peluncuran itu mengatakan, keberhasilan roket dalam negeri tersebut akan memacu para peneliti Indonesia untuk terus mengembangkan teknologi industri pertahanan. Untuk pengembangan selanjutnya, tengah disusun desain besar pembuatan roket dan rudal.
Kepala Balitbang Kementerian Pertahanan Pos M. Hutabarat mengatakan, biaya produksi sebuah roket sekitar Rp 75 juta. Total biaya produksi 500 roket itu diperkirakan Rp 37,5 miliar.
Menurut Purnomo, biaya produksi itu jauh lebih murah dibandingkan jika harus membeli dari luar negeri. Proses produksi 500 roket itu akan dibiayai negara dan pembuatannya diserahkan kepada PT Dirgantara Indonesia dan PT Pindad.
Pingdom, salah satu lembaga yang memonitor waktu uptime koneksi dari berbagai korporasi di dunia, baru saja merilis publikasi terbaru yang menelaah kecepatan koneksi real dari para pengakses internet di 50 negara yang memiliki pengguna internet terbanyak. Daftar ini mencakup China di nomer 1 dengan 420 juta pengguna internet sampai Denmark di nomer 50 yang memiliki 4,75 juta pengguna internet. Kelima puluh negara tersebut jika dijumlahkan memiliki lebih dari 1,8 miliar pengguna internet.

Data kecepatan koneksi internet ini diperoleh secara real dan bukan berdasarkan informasi dari ISP. Ini dapat diperoleh karena Pingdom mengambil data secara langsung dari Akamai, penyedia CDN - jaringan distribusi konten - terbesar di dunia. Data ini diambil dari kuartal kedua tahun 2010 sehingga masih relevan.
jaringan web. Ini menjadikan Akamai sebagai salah satu pihak yang bisa mengukur kecepatan download aktual dari berbagai tempat di dunia dengan cukup akurat

Dari data rata-rata koneksi setiap negara diketahui informasi berikut:

Korea Selatan memiliki koneksi tercepat dengan rata-rata koneksi mendekati 17Mbps, hampir dua kali lipat dari koneksi Hongkong sebesar 8,57 Mbps yang berada di tempat kedua.
China sebagai negara pengguna internet terbanyak memiliki koneksi rata-rata 0,86Mbps, masih jauh di bawah angka rata-rata koneksi di seluruh duniayang sebesar 1,8 Mbps.
Tiga tempat teratas koneksi tercepat di dunia dipegang oleh negara-negara Asia, sementara 7 negara dari Eropa, sedangkan Amerika Serikat dan Kanada berada di nomer 12 dan 11 dengan koneksi 4,6 Mbps dan 4,7 Mbps.

Distribusi koneksi internet secara global menunjukkan bahwa sebanyak 22% koneksi memiliki kecepatan di atas 5Mbps, sementara lebih dari setengah memiliki koneksi di atas 2Mbps.
Pingdom juga menyuguhkan grafik distribusi kecepatan koneksi internet dari masing-masing negara. Dari grafik ini dapat dilihat bahwa di negara maju koneksi di bawah 256kbps telah hampir hilang sementara di negara berkembang porsi koneksi 256kbps masih cukup besar.
Jika melihat kondisi Indonesia berdasarkan data ini diketahui bahwa Indonesia memiliki populasi pengguna internet nomer 16 di seluruh dunia, di atas Malaysia (28), Vietnam (21), Philipina (17), dan Thailand (25) (Singapura dan Brunei tidak termasuk karena populasi yang kecil). Namun ternyata Indonesia memiliki rata-rata koneksi internet terburuk di antara kelima negara ASEAN tersebut. Indonesia menempati posisi nomer 48, kalah jauh dari Filipina (41), Malaysia (38), Vietnam (32), apalagi Thailand (24).
Jadi, apakah Indonesia bisa berbangga dengan kondisi ini?